Sapaan Babi Hutan Penghuni Sumbing
Setiap
tempat selalu membawa kisah-nya masing-masing. Terlebih tempat baru yang belum
pernah kita datangi sebelumnya. Gunung Sumbing, salah satu gunung di Jawa
Tengah dengan ketinggian 3.371 Mdpl menjadikannya gunung tertinggi ke-tiga di
Pulau Jawa, hal itu membuat daya Tarik Gunung Sumbing semakin kuat dikalangan
para penikmat alam liar.
Tepatnya di
Bulan Agustus 2020, pendakian Gunung Sumbing via jalur religi yaitu Desa Glapansari
Kecamatan Parakan menjadi awal mulai perjalanan kami. Pos perbatasan desa
dengan area persawahan menjadi titik berkumpul sekaligus awal pemberangkatan
kami. Kami bertiga ditemani dengan pemuda desa yang siap menjadi “tourguide”
kami. Rencana awal kami memulai pemberangkatan pukul 07.00 WIB, namun nyatanya
harus molor hingga pukul 09.00 WIB akibat motor yang kita tumpangi untuk menuju
sampai di Perhutani (Pos Masuk) tidak kuat menanjak, al hasil kita jalan kaki
sekitar 3 KM, jalan bebatuan, tanjakan curam, cukup menguras tenaga kami,
padahal perjalanan yang sesungguhnya belum dimulai.
Sebelum melakukan pendakian gunung alangkah baiknya kita memahami jalur-jalur pendakian resmi. Jalur pendakian Gunung Sumbing secara resimi terdapat 5 jalur, yaitu jalur Garung cocok untuk pendaki pemula, Jalur Cepit atau Glapansari dengan keindahan pemandangannya, jalur Kali Angkrik melalui basecamp Desa Butuh dan Desa Mangli, jalur Bowongso yang cukup sepi, dan Jalur Sipetung di Kledung, Temanggung. Selalu update informasi ya kawan sebelum melakukan pendakian ke gunung sumbing, masing-masing jalur sudah ada kontak informasi yang bisa dihubungi.
Kembali lagi, setelah
cukup istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Jalanan yang rimbun penuh
rerumputan dan pohon-pohon tua yang bertumbangan yang pertama menyambut
perjalanan kami. Maklum, lebih dari 4 bulan jalur pendakian ditutup karena efek
pandemi, sehingga perawatan jalur pendakian menjadi terkendala. Satu jam tak
terasa perjalanan kami sudah tiba di pos 1, sekeliling kami hanya ada ilalang
dan rerumputan yang rimbun sekali, mirip dengan hutan tak terjamah. Mungkin ini
memang cara Tuhan agar pohon-pohon, rerumputan dan binatang-binatang di
dalamnya benar-benar merasakan kedamaian tanpa ada interaksi dengan manusia
yang cenderung hanya bersikap mengganggu mereka.
Perjalanan
menuju pos dua, dikagetkan dengan sosok misterius. Keluar dari semak-semak,
berjalan menyebrang dari jalan yang kita lalui, sosok hitam, berkaki empat,
yang paling ditakuti pendaki siapa lagi jika bukan “Si Bagas” alias si babi
hutan yang ganas. Memang gunung sumbing dikenal dengan banyak babi hutannya
yang ganas, yang tak segan menganggu atau merampok makanan para pendaki. Lega
rasanya, si bagas langsung kembali menghilang, kami tidak bisa membayangkan jika dia menyerang kami, karena sekeliling
kami hanya ada semak-semak belukar, tidak ada tempat untuk mengamankan diri.
Pepohonan
yang rimbun, tergantikan dengan padang ilalang yang luas setelah kami memasuki
perjalanan menuju pos 3. Bekas kebakaran hebat di tahun 2018 masih nampak segar,
pohon-pohon yang kering hangus, ilalang yang menggundul menjadi saksi, semoga
tidak terjadi kembali dan alam gunung sumbing kembali menghijau. Sepanjang
perjalanan hanya ilalang yang menemani, dari ketinggian sekitar 2.500 Mdpl,
indahnya Kawasan Temanggung terlihat jelas, memang siang itu cuaca sedang
cerah-cerahnya, matahari sedang terik-teriknya, memaksa kami harus pandai mengelola
energi dan asupan makanan perbekalan. Tai babi hutan yang masih segar kembali kita
jumpai, menandakan “si bagas” baru saja menyusuri tempat ini, wajar kan
rumahnya, sedangkan kami adalah tamunya.
Tiba di watu
kasur, bebatuan besar yang berbentuk seperti kasur menyambut kami. Mungkin
itulah sebabnya tempat peristirahatan ini dijuluki watu kasur. Tepat pukul
15.00 WIB terlihat dari arloji yang kami pakai. Pemuda desa menyarankan kami mengambil
air untuk tambahan pasokan di sungai dibawah tebing. Awalnya cukup ngeri, Ketika
mendengar “di bawah tebing”, setelah di tuntun dan ditemani pemuda desa cukup
aman jalur yang dilalui untuk turun menuju sungai. Khas sungai pegunungan, air
yang jernih, sejuk dan suara rintikan air yang mengalir pelan cukup membuat
syahdu suasana. Bergantian kami membasuh muka, merasakan kesegaran air murni
pegunungan sumbing, segar sekali rasanya. Cukup lama kami beristirahat di tempat
ini, setelah shalat asyar dan dhuhur yang kami gabung dan cukup mengambil
pasokan air, kami kembali bergegas menuju
waktu kasur. Tidak terasa sudah pukul 17. 00 WIB.
![]() |
Melanjutkan perjalanan menuju pos segara wedi, salah satu rekan kami mengalami kelelahan hebat, alhasil kita beristirahat kembali dan menyuplai tubuh dengan makanan yang kita masak. Sambil menikmati makanan yang kita masak, begitu indah sekali matahari yang terbenam diantara pegunungan sindoro dan prau. Merah jingga khas senja yang “didewakan” anak indie begitu nyata cantiknya dari atas sumbing.
Malam
semakin menggelap, untungnya sinar rembulan begitu terang, membantu kami berjalan.
Di luar kehendak kami, kami terpisah dengan pemuda desa yang menjadi tourguide
kami. Padahal Sebagian besar pembekalan kami ada disana. Berjalanan perlahan sambal
membopong ringan Langkah kaki teman kami yang sedang sakit, kami menyusuri jalan
hanya berdasarkan feeling, karena belum ada yang pernah mendaki sumbing via
jalur religi. Suasana semakin menegang dan mencekam, kami tersesat tinggal bertiga.
Teman kami yang sakit dan yang membopongnya jauh tidak terlihat, padahal kami
berjalan tepat di depan mereka. Pikiran sudah berkecamuk, hingga pukul 22.00
WIB kami belum juga sampai di segara wedi, sekali lagi kami menyimpulkan bahwa
kami benar-benar tersesat.
Angin malam yang begitu riuh, kabut yang semakin tebal memaksa kami mendirikan tenda darurat menghindari jika ada binatang buas atau cuaca yang berubah menjadi ekstrim. Terlelap dalam istirahat , suara Langkah kaki mendekati tenda. Kami saling melempar kuasa siapa yang berani mengecek di luar. Dodik, mengecek di luar tenda dengan sentolop terangnya, didapati tidak ada apa-apa, hal itu membuat kami semakin menegang. Berlagak acuh dengan kondisi malam itu, kamipun beristirahat dengan tenang.
Matahari timur mulai menampakkan rona jingganya, kami keluar tenda dan sedikit meresapi apa yang sebenarnya terjadi dengan kami semalam. Setelah mengambil foto-foto untuk mengabadikan momen, kami membereskan tenda dan Kembali menuruni gunung sumbing. Tengok ke atas bawah, kanan kiri tersadar kami bahwa semalam kami mendirikan tenda tepat di tebing rajawali, yaitu tepat di bawah puncak rajawali, semakin merinding kami menyadarinya. Meski kami tidak bisa berdiri di papan tertulis puncak rajawali Gunung Sumbing, kami tetap bangga dengan pencapaian kami, ini adalah puncak kami, terlebih kami sudah berani hingga di tebing rajawali yang konon katanya ngeri dan banyak binatang buasnya.
Gunung sumbing akan menjadi kisah
tersendiri bagi kami, dengan segala kemisteriusannya. Memang selain kondisi
tubuh yang baik, pembekalan yang memadai, niat dalam perjalanan kea lam bebas
harus benar ditata. Salah niat akan mengakibatkan hal-hal buruk sering terjadi.
Gunung sumbing cukup ramah untuk kami yang baru bertamu kepadanya, terutama
keramahan para babi hutan penghuningnya.
0 Comments